Makalah Perang Padri



BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Pentingnya pembahasan topik ini adalah untuk mengetahui bagaimana penderitaan bangsa Indonesia ketika di jajah oleh bangsa-bangs Eropa, sehingga terjadi perlawanan-perlawanan di berbagai daerah untuk menusir para penjajah, khususnya para penjajah Belanda.
Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan meluas, bukan hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke bidang-bidang lainnya seperti kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang semakin besar dan meluas terhadap kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa perlawanan dan perang melawan penindasan dan penjajahan bangsa Eropa. Tindakan sewenang-wenang dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan penindasan itu, rakyat Indonesia memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC.
Perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua periode, yaitu perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun 1800. Pembagian waktu tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman mengenai sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Bangsa-Bangsa Barat tersebut. Perlawanan sebelum tahun 1800, yaitu : Perlawanan Rakyat Mataram, Perlawanan Rakyat Banten, Perlawanan Rakyat Makasar, Pemberontakan Untung Surapati. Sedangkan perlawanan sesudah tahun 1800, yaitu : Perlawanan Sultan Nuku(Tidore), Perlawanan Patimura, Perang Diponegoro,Perang Paderi, Perang Aceh, Perang Bali, Perang Banjarmasin.
Proses penjajahan di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan cukup tergambarkan dalam satu atau dua buku. Berbagai pristiwa yang pernah dialami maupun berbagai peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi yang masih banyak menyimpan rahasiah yang mungkin belum mampu terungkap.

2.      Rumusan Masalah
1.        Apa yang melatar belakangi dalam prlawanan tersebut?
2.        Bagaimana strategi yang dilakukan di setiap daerah untuk melawan Belanda?
3.        Siapa tokoh yang paling berperan dalam perlawanan tersebut?
4.        Bagaimana proses dalam perlawanan tersebut ?
5.        Bagaimana akhir dari perlawanan tersebut ?
3.    Tujuan Pembahasan
Supaya kita dapat mengetahui susah payahnya para pejuang yang peduli akan keadaan Bangsa Indonesia.







BAB II
PEMBAHASAN


1.      PERANG PADRI (1083-1838)
A.     Pengertian Perang Padri
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di daerah Minangkabau (Sumatra Barat) dan sekitarnya terutama di kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Istilah Padri berasal dari kata Pidari atau Padre, yang berarti ulama yang selalu berpakaian putih. Para pengikut gerakan padri biasanya memakai jubah putih. Sedangkan kaum adat memakai pakaian hitam.
Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa disebut gerakan Padri karena para pemimpin gerakan ini adalah orang Padari, yaitu orang-orang yang berasal dari Pedir yang telah naik haji ke Mekah melalui pelabuhan Aceh yaitu Pedir. Adapun tujuan dari gerakan Padri adalah memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan mereka agar sesuai dengan ajaran Islam yang murni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan ini mendapat sambutan baik di kalangan ulama, tetapi mendapat pertentangan dari kaum adat. (Mawarti, Djoened PNN, 1984:169).

B.     Sebab Awal Terjadinya Perang Padri
Pada awalnya perang Padri disebabkan oleh pertentangan antara golongan Adat dengan golongan Padri. Masing-masing berusaha untuk merebut pengaruh di masyarakat. Kaum adat adalah orang-orang yang masih teguh dalam mempertahankan adat didaerahnya sehingga mereka tidak berkenan dengan pembaharuan yang dibawa oleh kaum Padri. Agama Islam yang dijalankan kaum adat sudah tidak murni, tetapi telah terkontaminasi atau telah terkontaminasi dengan budaya setempat.
Kaum Padri adalah golongan yang berusaha menjalankan Agama Islam secara murni sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist. Setealah kaum Adat mengalami kekalahan, mereka meminta bantuan kepada Belanda yang akhirya konflik ini berkembang menjadi konflik antara kaum Padri dengan Belanda.

C.      Periodesasi Gerakan Padri
Secara umum perang Padri dibagi dalam dua periode yaitu :
1.      Periode 1803 – 1821 (Perang antara Kaum Padri Melawan kaum Adat)
a.       Sebab terjadinya Perang
Pada tahun 1803, Minangkabau kedatangan tiga orang yang telah menunaikan ibadah haji di Mekah, yaitu: H. Miskin dari pantai Sikat, H. Sumanik dari Delapan Kota, dan H. Piabang dari Tanah Datar. Di Saudi Arabia mereka memperoleh pengaruh gerakan Wahabi, yaitu gerakan yang bermaksud memurnikan agama Islam dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Mereka yang hendak menyebarkan aliran Wahabi di Minangkabau menamakan dirinya golongan Paderi (Kaum Pidari).
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki kaum Padri terhadap kaum Adat karena kebiasaan-kebiasaan buruk yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakatdi kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan buruk yang dimaksud sepertiperjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. kebiasaan ini semakin meluas dan mempengaruhi kaum mudanya.
Ternyata aliran wahabi ini ditentang oleh Kaum Adat (ajaran Islam yang bercampur dengan adat setempat) yang terdiri dari pemimpin-pemimpin adat dan golongan bangsawan.
Pertentangan antara kedua belah pihak itu mula-mula akan diselesaikan secara damai, tetapi tidak terdapat persesuaian pendapat. Akhirnya Tuanku Nan Renceh menganjurkan penyelesaian secara kekerasan sehingga terjadilah perang saudara yang bercorak keagamaan dengan nama Perang Padri (1803 – 1821).
b.      Jalanya Perang Padri
Perang saudara ini mula-mula berlangsung di Kotalawas. Selanjutnya menjalar ke daerah-daerah lain. Pada mulanya kaum Paderi dipimpin Datuk Bandaro melawan kaum Adat di bawah pimpinan Datuk Sati. Karena Datuk Bandaro meninggal karean terkena racun, selanjutnya perjuangan kaum Padri dilanjutkan oleh Muhammad Syahab atau Pelo (Pendito) Syarif yang kemudian dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol karena berkedudukan di Bonjol. Tuanku Imam merupakan anak dari Tuanku Rajanuddin dari Kampung Padang Bubus, Tanjung Bungo, daerah Lembah Alahan Pajang.
Dalam perang itu, kaum Padri mendapat kemenangan di mana-mana. Sejak tahun 18815 kedudukan kaum Adat makin terdesakkarena keluarga kerajaan Minangkabau terbunuh di Tanah Datar, sehingga kaum Adat (penghulu) dan keluarga kerajaan yang masih hidup meminta bantuan kepada Inggris (di bawah Raffles yang saat itu masih berkuasa di Sumatera Barat). Karena Inggris segera menyerahkan Sumatera Barat kepada Belanda, maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda, dengan janji kaum Adat akan menyerahkan kedaulatan seluruh Minangkabau (10 Februari 1821). Permintaan itu sangat menggembirakan Belanda yang memang sudah lama mencari kesempatan untuk meluaskan kekuasaannya ke daerah tersebut.
c.       Pemimipin yang terlibat pada Perang Padri
·         Kaum Pidari dipimpin oleh Datuk Bandaro, Datuk Malim Basa,Tuanku Imam Bonjol Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Nan Cerdik.
·         Kaum Adat dipimpin oleh Datuk Sati pemimpin perang padri.
2.      Periode 1821 – 1838 (Perang antara Kaum Padri Melawan Belanda)
Sejak disetujuinya perjanjian antar kaum adat dengan Belanda mengenai penyerahan kerajaan Minangkabau kepada Belanda pada tanggal 10 Februari 1821, hal ini menjadi tanda dimulainya keikutsertaan Belanda dalam melawan kaum Padri.
Dalam perang antara kaum Padri melawan Belanda, jalanya perang dibagi menjadi tiga periode:
a.       Periode I (Tahun 1821 – 1825)
Periode pertama ini ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh daerah Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman, kaum Paderi menggempur pos-pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan tempat-tempat lain. Pertempuran menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Tuanku Pasaman, kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau, sebaliknya Belanda yang telah berhasil menguasai lembah Tanah Datar, mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar ( Fort Van den Capellen) dan Benteng Fort de Kock di Bukit tinggi.
Ternyata Belanda hanya dapat bertahan di benteng-benteng itu saja. Daerah luar benteng masih tetap dikuasai oleh kaum Pidari. Belanda mengalami kekalahan di mana-mana, bahkan pernah mengalami kekalahan total di Muara Palam dan di Sulit Air. Untuk itu, Belanda mulai mendekati kaum Padri ntuk melakukan perdamaian dan pada tanggal 22 Januari 1824 Belanda berhasil mengadakan perdamaian dengan kaum Padri di Masang dan di daerah VI Kota, isinya: kedua belah pihak akan mentaati batasnya masing-masing. Adanyaperundingan ini sebenaranya hanya menguntungkan pihak Belanda untk menunda waktu guna memperkuat diri. Setelah berhasil memperkuat pertahannanya, Belanda tidak mau mentaati perjanjian dan dua bulan kemudian Belanda meluaskan daerahnya.
b.      Periode II (Tahun 1825 – 1850)
Pada periode ini ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum Padri perlu menyusun kekuatan, sedangkan pihak Belanda dalam keadaan sulit, sebab baru memusatkan perhatiannya dan pengeriman pasukan untuk menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa Tengah.
Belanda mencari akal agar dapat berdamai dengan kaum Padri. Dengan perantaraan seorang bangsa Arab yang bernama Said Salima ‘Ijafrid, Belanda berhasil mengadakan perdamaian dengan kaum Padri tanggal 15 November 1825 di Padang, yang isinya:
·         Kedua belah pihak tidak akan saling serang menyerang.
·         Kedua belah pihak saling melindungi orang-orang yang sedang pulang kembali dari pengungsian. Kedua belah pihak akan saling orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan berdagang.
·         Belanda akan mengakui kekuasaan Tuanku-Tuanku di Lintau, Limapuluhkota, Telawas dan Agam.
c.       Periode III (Tahun 1830-1838)
Periode ketiga ini ditandai dengan perlawanan di kedua belah pihak makin menghebat. Perang Diponegoro di Jawa Tengah telah dapat diselesaikan Belanda dengan tipu muslihatnya. Perhatiannya lalu dipusatkan lagi ke Minangkabau. Maka berkobarlah Perang Padri periode ketiga. Belanda telah mengingkari Perjanjian Padang. Pertempuran mulai berkobar di Naras daerah Pariaman. Naras yang dipertahankan oleh Tuanku Nan Cerdik diserang oleh Belanda sampai dua kali tetapi tidak berhasil. Setelah Belanda menggunakan senjata yang lebih lengkap di bawah pimpinan Letnan Kolonel Elout yang dibantu Mayor Michiels, Naras dapat direbut oleh Belanda. Tuanku Nan Cerdik menyingkir ke Bonjol, selanjutnya daerah-daerah kaum Pidari dapat direbut oleh Belanda satu demi satu, sehingga pada tahun 1832 Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda.
Pada tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan Belanda. Akan tetapi ketenteraman itu tidak dapat berlangsung lama, karena rakyat diharuskan:
·         Membayar cukai pasar dan cukai mengadu ayam.
·         Kerja rodi untuk kepentingan Belanda.
Dengan hal-hal tersebut di atas, sadarlah kaum Adat dan kaum Pidari bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh Belanda. Perasaan nasionalisme mulai timbul dan menjiwai mereka masing-masing. Selanjutnya terjadilah perang nasional melawan Belanda. Pada tahun 1833 seluruh rakyat Sumatera Barat serentak menghalau Belanda. Bonjol dapat direbut kembali dan semua pasukan Belanda di dalamnya dibinasakan. Karena itu Belanda mulai mempergunakan siasat adu domba (devide et empera).
Dikirimkanlah Sentot beserta pasukan-pasukannya yang menyerah kepada Belanda waktu Perang Diponegoro ke Sumatera Barat untuk berperang melawan orang-orang sebangsanya sendiri. Tetapi setelah Belanda mengetahui bahwa Sentot mengadakan hubungan dengan kaum Pidari secara rahasia, Belanda menjadi curiga. Pasukan Sentot ditarik kembali ke Batavia dan Sentot diasingkan ke Bangkahulu.
Untuk mengakhiri Perang Padri itu, Belanda berusaha menarik hati para raja di Minangkabau dengan cara mengeluarkan Plakat Panjang (1833) yang isinya:
1.      Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak berat dan pekerjaan rodi.
2.      Perdagangan hanya dilakukan dengan Belanda saja.
3.      Kepala daerah boleh mengatur pemerintahan sendiri, tetapi harus menyediakan sejumlah orang untuk menahan musuh dari dalam atau dari luar negeri.
4.      Para pekerja diharuskan menandatangani peraturan itu. Mereka yang melanggar peraturan dapat dikenakan sanksi.
Di tahun 1835 kaum Padri di Bonjol mulai mengalami kemunduran, hal tersebut disebabkan ditutupnya jalan-jalan penghubung dengan daerah lain oleh paskan Belanda. Pada tanggal 11-16 Juni 1835 sayap kanan pasukan Belanda berhasil menutup jalan yang menghubungkan benteng Bonjol dengan daerah barat dan menembaki benteng Bonjol. Setelah daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda,. Membaca situasi yang gawat ini, pada tanggal 10 Agustus 1837, Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia untuk berdamai. Belanda mengharapkan bahwa perdamaian ini disertai dengan penyerahan. Tetapi Belanda menduga bahwa ini merupakan siasat dari Tuanku Imam Bonjol guna mengulur waktu, agar dapat mengatur pertahanan lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan pertahanan dalam benteng dengan luar benteng, di samping untuk mengetahui kekuatan musuh di luar benteng.
Kegagalan perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837. Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng Bonjol, yang didahului dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng Bonjol tidak banyak menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat. Perkelahian satu lawan satu tidak dapat dihindarkan lagi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Pasukan Padri terdesak dan benteng Bonjol dapat dimasuki oleh pasukan Belanda.
Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya menyerah kepada Belanda. Tuanku Imamm Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Pada tanggal 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon, lalu pada tahun 1841 dipindahkan ke Manado hingga meninggal dunia pada tanggal 6 November 1864.
Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah tidak berarti perlawanan kaum Padri telah dapat dipadamkan. Perlawanan masih terus berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusi, namun Tuanku Tambusi berhasil dikalahkan oleh Belanda pada tanggal 28 Oktober 1838. Dengan demikian, secara umum perlawanan kaum Padri dapat dipatahkan pada akhir tahun 1838. Maka kekuasaan Belanda mulai sejak itu ternanam di Sumatra Barat.



2.      PERANG DIPONEGORO
Description: Pangeram Diponegoro
Pangeran Diponegoro yang lahir 11 November 1785 adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwono III seorang pemimpin Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Ibu beliau : R.A Mangkarawati berstatus sebagai selir dari Sultan Hamengkubuwono III yang memiliki tiga orang istri. Nama asli beliau adalah Raden Mas Mustahar dan kemudian oleh Sultan Hamengkubuwono II diganti menjadi Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Beliau sejak kecil lebih memilih tinggal di Tegalreja rumah nenek buyutnya, dan memang lebih suka merakyat dan mendalami ajaran agama islam dan jawa. Sehingga menolak menjadi sultan ketika ayahnya mangkat karena dia juga ingat statusnya dari ibunya yang bukan istri sultan.
Pemicu perang besar di jawa ini sebenarnya bukan satu alasan saja yaitu dibangunnya rel di pemakaman leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalreja, tetapi karena memang sudah sangat muaknya Pangeran Diponegoro terhadap perilaku Belanda yang memang telah sewenang-wenang, mulai dari berkecimpungnya mereka dengan keputusan-keputusan kesultanan, tingginya pajak yang dibebankan kepada masyarakat, dan tindakan mereka yang menyeleweng dari syarekat-syarekat islam. Sempat ada suatu saat ketika tahun 1822 kesultanan dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono V yang masih sangat muda, dikarenakan usianya yang muda tersebut, dibuatlah sebuah perwalian yang berisi Kanjeng Ratu Agung permaisuri Sultan Agung Hamengkubuwono III, Kanjeng Ratu Kencana permaisuri Sultan Agung Hamengkubuwono IV, Pangeran Mangkubumi yang seorang anak dari Sultan Hamengkubuwono I dan Pangeran Diponegoro sendiri. Pangeran sering tidak diajak didalam rapat-rapat di perwalian tersebut karena pengaruh belanda dan sangat terlihatnya ketidaksukaan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda. Karena Sultan kala itu masih muda, maka urusan kenegaraan dijalankan oleh Patih Danurejo yang memang dekat dengan Belanda.
Dan klimaks dari keengganan Pangeran Diponegoro tersebut adalah ketika Belanda merencanakan membangun rel di atas tanah Tegalreja yang melewati pemakaman leluhurnya, oleh Belanda Patih Danurejo disuruh untuk memasang patok-patok disana. Melihat ini Pangeran Diponegoro marah karena melihat Belanda seenaknya sendiri memasang patok-patok pembangunan tersebut terlebih lagi diatas pemakaman, Belanda sangat tidak menghormati kaedah-kaedah islam dan adat-istiadat setempat. Oleh Pangeran Diponegoro patok-patok tersebut disuruh dicabut, dan kemudian ketika Patih Danurejo memasang kembali patok-patok tersebut patok tersebut juga dicabut kembali. Dan Pangeran Diponegoro juga telah siap dengan mengumpulkan massa untuk melawan Belanda. Berita ini sampailah kepada Belanda yang kemudian menyuruh Pangeran Mangkubumi untuk menemui Pangeran Diponegoro, ketika Pangeran Diponegoro ditemui oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi kemudian malah membelot dan masuk kedalam perlawanan Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi menasehati untuk membuat markas di daerah Selarong. Ketika itu juga datanglah seorang utusan dari keraton untuk menjemput Pangeran Mangkubumi, dan datang juga tentara Belanda menyerang desa Tegalreja, kala itu mulailah perlawan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda. Setelah Tegalreja dibakar oleh Belanda, anak-anak dan wanita mengungsi di desa Kalisaka dibawah perlindungan Pangeran Mangkubumi, sementara markas besar Pangeran Diponegoro di Selarong bersama dengan pangeran-pangeran lain yang mendukungnya.



A.     Jalannya Perang Jawa
Di Selarong Pangeran Diponegoro mambagi tugas untuk melakukan perlawanan. Pangeran Diponegoro Anom ,putra pangeran Diponegoro, dan Tumenggung Danukusuma diberi tugas untuk melakukan perlawanan di daerah Bagelen. Pangeran Adiwinono dan Mangundipuro mendapat tugas mengadakan perlawanan di daerah Kedu dan sekitarnya . Pangeran Abu Bakar dan Tumenggung Jaya Mustopo mengadakan perlawanan di daerah Lowano. Pangeran Adisurya dan Pangeran Sumonegoro mengadakan perlawanan di Kulon Progo Tumenggung Cokronegoro memimpin pasukan di Godean. Pangeran Joyokusumo (Pangeran Bei) memimpin pasukan di utara Yogyakarta dibantu Tumenggung Suradilogo. Yogyakarta bagian timur diserahkan kepada Tumenggung Suryonegoro dan Tumenggung Suronegoro. Pertahanan di Selarong diberikan kepada Joyonegoro,pangeran Suryodiningrat dan Pangeran Joyowinoto. Gunung Kidul diberikan kepada pangeran Singosari dan Pangeran Warakusumo. Perlawanan di daerah Pajang dipegang oleh Pangeran Mertoloyo Pangeran Wiryokusumo, Tumenggung Sindurejo dan Pangeran Diporejo. Perlawanan di Sukawati dipimpin oleh Kertonegara , Bupati Mangunnegara memimpin perlawanan di Madiun Magetan dan Kediri.
Insiden Tegalreja tersebut terdengar oleh Gubernur Hindia Beland saat itu Van der Cepellen, dan memutuskan untuk mengirimkan Jenderal De Kock sebagai lawan tanding Pangeran Diponegoro. Jenderal De Kock sampai di Semarang pada tanggal 29 Juli 1825 dan tiba di Surakarta tanggal 30 Juli 1825. Membuat perundingan dengan Pakubuwana VI dan hasilnya Pakubuwana VI menyetjui untuk membantu Belanda menghentikan pemberontakan Pangeran Diponegoro. Untuk memadamkannya Belanda mengirimkan pasukan bantuan dari Semarang. Sesampainya di lembah Logerok (Lembah Pisangan) pasukan Belanda dengan dipimpin oeh kapten Keemsius disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Musyosentika. Pasukan hancur musuh milik Belanda kalah telak dan sebanyak 200 orang tewas, serta berhasil dirampasnya uang 50.000 gulden yang akan dikirim kepada residen Yogyakarta. Kemenangan ini menjadi yang pertama di akhhir Juli 1825 serta membuat semain banyaknya orang yang menyebrang ke sisi golongan Pangeran Diponegoro.Kemudian bala bantuan dari timur yang berisikan dari legiun Mangkunegaraan dipimpin oleh Raden mas Suwongso menantu Mangkunegoro disergap di Randugunting, Kalasan. Hampir seluruh prajurit tewas. Pemimpinnya tersebut tertawan dan dibawa ke Selarong tetapi kemudian dibebaskan oleh Pangeran Diponegoro.
Mendengar berita kemenangan pasukan Diponegoro di logorok dan Randugunting dan di lain lain tempat, rakyat semakin bergerak dan kuat. Keluarga Keraton Yogyakarta ketakutan dan bersembunyi di benteng Belanda. Banyak alim ulama kraton yang meninggalkan kraton dan bergabung dengan pasukan Diponegoro.
Berita kemenangan-kemenangan tersebut sangat cepat menyebar bak kebakaran di padang rumput sehingga menghasilkan lebih banyak lagi simpaitisan—simpatisan yang menyebrang ke sisi Pangeran Diponegoro, dan menimbulkan perlawanan dimana-mana di Jawa.
Di Kedu pertempuran terjadi sangat sengit, pasukan rakyat yang disebut Bulkiya yang dipimpin oleh Haji Usaman Alibasah dan Haji Abdulkabir melawan pasukan Belanda dengan bantuan dari Bupati Magelang Tumenggung Hadiningrat. Pasukan Pangeran Diponegoro melumat dan memukul mundur pasukan Belanda serta menewaskan Bupati Magelang, Tumenggung Danuningrat. Di daerah Menoreh pun pasukan Pangeran Diponegoro dapat mengancurkan pasukan Belanda dan menewaskan Bupati Menoreh Ario Sumodilogo. Pada tanggal 7 Agustus 1825, Jenderal De Kock mengirim surat untuk mengadakan perundingan dengan segala pihak, dan dia diundang ke Selarong, tetapi Jenderal De Kock tidak berani datang.
Perlwanan rakyat terus berkobar , upaya de Kock untuk mengatasi perlawanan rakyat adalah degan cara memanggil opsir opsir yang bertugas diluar Jawa untuk menghadapi Diponegoro. Jenderal Van Geen yang bertugas memadamkan perlawanan di Sulawesi ditarik ke Jawa, selama berminggu minggu dia harus bertempur melawan rakyat Semarang yang dipimpin oleh Pangeran Serang. Pangeran Serang kemudian menuju ke Sukawati diselatan bergabung dengan pasukan Kartodirja. Kemudian mereka memimpin perlawanan rakyat di Rembang, Blora dan Bojonegara. Tumenggung Kartadirja tertembak kakinya kemudian ditawan di Semarang. Kemudian Pangeran Serang bergabung ke Madiun dan selanjutnya bergabung dengan Pangeran Diponegoro di Yogyakarta.
Jenderal de Kock berusaha mengepung markas pangeran Diponegoro di Selarong akan tetapi untuk mengepung Selarong de Kock terlebih dahulu harus menghadapi perlawanan rakyat di Semarang,Bagelen,Kedu, Banyumas Madiun dan Surakarta. Untuk itu de Kock menugaskan tangan kanannya yaitu Letkol Diell dan Letkol Cleerens. Letkol Diell menghadapi perlawanan rakyat di Banyumas dan Letkol Cleerens di Tegal dan Pekalongan.
Pasukan Belanda mengadakan serangan besar besaran ke Selarong pada 2 dan 4 Oktober 1825 namun Selarong sudah kosong karena Pangeran Diponegoro memindahkan markasnya ke Dekso. Para wanita,anak anak dan orang tua dipindahkan ke Suwela. Di situ Pangeran Diponegoro memperkuat dan memperbaiki pasukannya. Ia membentuk kesatuan pasukan baru dengan Senapati tangguh dan berpengalaman.
Pada akhir tahun 1825 Pasukan Diponegoro berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang menyerang Imogiri. Di Yogya timur Tumenggung Suronegoro berhasil menggempur pertahanan Belanda dan mampu mengambil banyak senapan dan meriam dari Belanda.
Hanya di Yogya bagian barat pasukan Belanda mampu mengepung Dekso,markas pangeran Diponegoro. Kemudian pada tanggal 16 April 1826 pasukan gabungan Belanda dan Mangkunegaran menyerang pertahanan Pasukan Dipangera di Plered,tapi kemudian ditinggalkan dan diduduki kembali oleh pasukan Diponegoro. Pada 6 Juni dibawah pimpinan Kol Cochius, Pangeran Suria mataram dan pangeran Suriadiningrat. Kraton Tua Plered kembali dikuasai oleh Pasukan Belanda dan Mangkunegaran.
Pada 8 Juli 1826 Dekso diserang akan tetapi pangeran Diponegoro telah berpindah ke desa Kasuran. Kemudian tanggal 28 Juli pasukan Belanda kembali bergerak menuju Yogyakarta,di Kasuran pasukan Belanda disergap oleh Pasukan Diponegoro Van Geen kabur dan Kol Cochius dan dua orang bangsawan kraton tewas.
Selama tahun 1826 Pangeran Diponegoro selalu memenangkan pertempuran melawan Belanda dan Mangkunegaran. Perlawanan rakyat di Bagelen berhasil memukul mundur Belanda. Pangeran Bei memenangkan pertempuran di Kejiwan. Dalam pertempuran di Delanggu pasukan Diponegoro berhasil memenangkan pertempuran sengit, dan mendapatkan berpuluh senapan dan dua belas meriam, pertempuran di Delanggu adalah kemenangan terbesar bagi pihak Pangeran Diponegoro.
Karena mengalami kekalahan berturut turut sejak awal perang de Kock kemudian mengangkat kembali Sultan Hamengkubuwono II pada 1826. Pengangkatan ini bermaksud agar pimpinan perjuangan rakyat yang dulu setia kepada Sultan Sepuh mau meninggalkan perjuagan dan kembali ke kraton. Akan tetapi pemimpin pasukan tetap setia kepada Pangeran Diponegoro, dan tetap melanjutkan perlawanan.
Pada tahun 1827 karena telah menelan kekalahan bertubi tubi sejak dua tahun berperang. Jenderal de Kock mengubah siasat perang menjadi Benteng Stelsel, yaitu dengan mendirikan benteng di tempat yang diduduki. Siasat ini untuk mengimbangi siasat perang gerilya yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro yang selalu berpindah tempat. Sehingga pasukan de Kock tidak perlu mencari Diponegoro. Total 200 benteng dibangun untuk mengatasi perlawanan Pangeran Diponegoro.
Strategi benteng stelsel ini tidak langsung behasil karena pasukan Diponegoro masih memenangkan pertempuran pertempuran di Kedu. Di Banyumas pasukan Belanda bahkan harus kehilangan letkol Diels dan letkol de Bost. Hanya pasukan di daerah yogya selatan yang mamp dimenangkan oleh pasukan Belanda dimana Pangeran Notonegoro dan Pangeran Serang menyerah pada tanggal 21 Juni 1827 atas bujukan residen Yogya, van Lowick. Itu merupakan pukulan telak bagi pasukan Diponegoro.
Pada 1828 Belanda memindahkan markasnya ke Magelang Karena dinilai leih strategis.,sebab lokasinya yang strategis untuk memadamkan perlawanan rakyat. Belanda terus memperkuat jaringan bentengnya, mereka mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Pada 1828 tepatnya pada tanggal 18 April Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Mangkubumi menyerah. Penyerahan ini sangat menggembirakan bagi Belanda karena Belanda berharap Pangeran Mangkubumi juga ikut menyerah ke Belanda.
Disamping persenjataan yang lengkap dan modern. Belanda juga melancarkan cara lain untuk mempengaruhi para pemimpin pasukan Diponegoro untuk menyerahkan diri denagn iming iming posisi di kraton.
Pada akhir 1828 terjadi pertempuran di Penangguhan. Disini jatuh banyak korban dari Belanda maupun dari pasukan pangeran Diponegoro. Kapten Van Ingen dan Pangeran Prangwedana tewas dan di pihak Diponegoro komandan pasukan Mantirejon meninggal. Kedua belah pasukan menarik diri dari pertempuran ini.
Description: Daerah-daerah terjadinya perang

B.     Akhir Perang Jawa
Pada awal tahun 1829 terjadi pergantian pimpinan dalam pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia. Komiaris Dus Bus akan diganti oleh Johannes van Den Bosch sebagai Gubernur Jenderal. Jenderal Marcus de Kock diganti oleh Mayor Jendral Benyamin Bisschof. Mayor Bisshof tiba di Jakarta tanggal 13 Mei 1939. Jenderal ini kondisinya lemah dan ia meninggal di Cianjur Jawa barat pada 7 Juni 1939. Sehingga Jendeeral de Kock minta memimpin pasukan Belanda melawan Dipanegara.
Sementara terjadi pergantian kekuasaan di Belanda Pangeran Dipanegara terus melanjutkan perlawanan di Bagelen dan Banyumas. Yogyakarta selatan perlawanan rakyat dibawah Pangeran Bei mengadakan perlawanan terhadap pos pos pertahanan Belanda. Karena kewalahan Belanda mendatangakan bala bantuan dari Sulawesi, Maluku, Bali dan Eropa.
Perundingan perundingan gagal terwujud antara dua pihak. Ketika Belanda berusaha menangkap Mangkubumi yang menjaga wanita dan anak anak di Kulur,pasukajn belanda tiba tiba diserang oleh Sentot Prawiradirja. Markas pertahanan Pangeran Bei diserang oleh Belanda, Pangeran Bei terluka dalam penyerangan itu, R Joyonegara yang datang membantu tidak mampu menahan pasukan Belanda.
Pada 1829 diluar Yogyakarta banyak Tumenggung yang menyerah kepada Belanda. Istri pangeran Mangkubumi juga menyerah pada tahun yang sama. Kemudian karena usia yang tua Pangeran Mangkubumi kembali ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Keadaan semakin memburuk bagi Pangeran Dipanegara, Sentot Prawiradirja menyerah ke Belanda. Para Pangeran juga menyerah kepada Belanda dan kembali ke kraton Ngayogyakarta. Akan tetepi Pangeran Dipanegara tetap mengadakan perlawanan di daerah Kedu.
Pada 17 Februari Letkol Cleerens mengahadap Pangeran Dipanegara untuk mengajak berunding di Karesidenan. Pada 18 Maret Pangeran Dipanegara tiba di Magelang dengan berkuda tepat pada bulan Ramadhan. Dipanegara kemudian mengusulkan agar perundingan baru diadakan setelah Idul Fitri yang jatuh pada 27 maret 1830.
Sehari setelah Idul Fitri pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan dilaksanakan. Tuntutan pangeran Dipanegara agar mendirikan negara merdeka yang bersendikan syariat dan Islam. Karena tuntutan Dipanegara dinilai berlebihan kemudian Pangeran Dipanegara ditangkap kemudian dibuang ke Manado.
Dengan demikian berakhirlah Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Dipanegara melawan kraton dan Belanda.

C.     Dampak Perang Jawa
Tidak bisa dipungkiri, Pangeran Dipoengoro berhasil membuat Belanda kocar-kacir dan mengalami kerugian yang sangat besar banyak dari pasukannya tewas dan daerah-daerah penting hancur dan sempat terkuasai. Setelah berhasil ditangkapnya Pangeran Diponegoro, Belanda masih mengalami masalah menegenai dana-dana yang perlu untuk membangun kembali tempat-tempat yang rusak. Oleh Van Den Bosch dibuatlah aturan baru tentang tanam paksa untuk menutup kekosongan kas Belanda. Menurut saya seharusnya Dipoengoro bisa menang apabila saudara-saudara setnah airnya emua ikut membantunya karena sebenarnya pasukan Belanda teramatlah sedikit dan mereka kebanyakan merekrut orang-orang pribumi untuk masuk tentaranya, seperti legiun Mangkunegaraan. Sungguh keberanian Diponegoro patut dilanjutkan di jaman sekarang ini, menentang imperialisme dalam bentuk yang lebih modern.
3.      PERANG BALI (1846-1849)
Pemerintah Hindia Belanda berusaha membulatkan seluruh jajahannya atas Indonesia termasuk Bali. Upaya Belanda itu dilakukan antara lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan Klungkung, Badung dan Buleleng. Salah satu isinya bebunyi: Raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaan-kerajaan di Bali berada di bawah pengaruh Belanda. Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda untuk menguasai Bali.
Masalah utama adalah adanya hak tawan karang yang dimiliki raja-raja Bali. Hak ini dilimpahkan kepada kepala desa untuk menawan perahu dan isinya yang terdampar di perairan wilayah kerajaan tersebut. Antara Belanda dengan pihak kerajaan Buleleng yaitu Raja I Gusti Ngurah Made Karang Asem besarta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah ada perjanjian pada tahun 1843 isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika kapalnya terdampar di wilayah Buleleng namun perjanjian itu tidak dapat berjalan dengan semestinya.
Pada tahun 1844 terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah (Bali Barat) dan Sangsit (Buleleng bagian Timur). Belanda menuntut agar kerajaan Buleleng melepaskan hak tawan karangnya sesuai perjanjian tahun 1843 itu namun ditolak. Kejadian tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk menyerang Buleleng.
Pada bulan Juni 1846, pasukan dan kapal dikerahkan bersama dan dipimpin oleh schout-bij-nacht Engelbertus Batavus van den Bosch; pasukan itu terdiri atas 1.700 prajurit, dan hanya 400 orang saja yang berasal dari Eropa. Pasukan itu dipimpin oleh Letkol. Bakker. Serangan ini dapat digagalkan oleh laskar Buleleng yang bertahan di benteng Jagaraga.

Description: Picture
Benteng Jagaraga

Benteng Jagaraga berada di atas bukit, berbentuk “Supit Urang” yang dikelilingi dengan parit dan ranjau untuk menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng maka raja-raja Karangasam, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan sehingga jumlah seluruhnya mencapai 15000 orang. Semangat para prajurit ditopang oleh isteri Jelantik bernama Jero Jempiring yang menggerakkan dan memimpin kaum wanita untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang bertugas digaris depan.
Ekspedisi kedua dipimpin oleh Jend. Carel van der Wijck; pada tanggal 7 Juni 1848 pasukan tersebut mendarat di pantai utara Buleleng. Pasukan Belanda beranggotakan 2.400 prajurit, sepertiga terdiri atas orang Eropa, sisanya adalah orang Jawa dan Madura, ditambah dengan 1 kompi yang beranggotakan orang kulit hitam Afrika, kemungkinan berasal dari koloni Belanda di Ghana (saat itu Pantai Emas).
Orang Bali berjumlah 16.000 jiwa, temasuk 1.500 orang yang bersenjatakan senapan api di bawah pimpinan I Gusti Ketut Jelantik. Setelah Belanda mendarat, orang Bali menarik diri ke posisi mereka di Jagaraga, hanya 4 kilometer jauhnya. Belanda menyerang musuh di Jagaraga meskipun udara panas menyengat. Orang Bali menyerang balik dan menghalau pasukan Belanda, yang di pihaknya jatuh korban 200 orang tewas, sehingga harus naik kapal kembali. Setelah kekalahan ini, Belanda kembali menyerang lewat ekspedisi ketiga di tahun 1849.
Description: Image result for I Gusti ketut jelantik
I Gusti Ketut Jelantik

Pimpinan ekspedisi ketiga dipegang oleh Jend. Andreas Victor Michiels, yang dipanggil dari Pesisir Barat Sumatera, dan pada bulan November 1848 mendapatkan kesempatan inspeksi ke sana. Dengan urusan tersebut, yang sejauh itu bisa diketahui, ia kemudian ditempatkan untuk memimpin angkatan perang sebanyak 5.000 prajurit dan 3.000 kuli di bulan Maret 1849, dan semuanya diberangkatkan ke Bali. Pada tanggal 28 Maret, Michiels memimpin pasukannya ke Buleleng, Benteng Jagaraga dihujani meriam dengan gencar. Tak ada seorangpun laskar Buleleng yang mundur, mereka semuanya gugur pada tangal 19 April 1849 termasuk isteri Patih Jelantik yang bernama Jero Jempiring. Dengan jatuhnya benteng Jagaraga maka Belanda dapat menguasai Bali utara dan 2 hari kemudian ke Singaraja tanpa banyak perlawanan, dan esoknya sebuah perundingan diusahakan terhadap kerajaan tersebut; namun gagal. Dari sini, Michiels merencanakan serangan ke Jagaraga; di saat yang sama sebagian pasukan, di bawah pimpinan Jan van Swieten, sibuk menahan pasukan di depan, dan May. Cornelis Albert de Brauw (bersama tokoh lain seperti Willem Lodewijk Buchel, Johannes Root dan Karel van der Heijden) melakukan beberapa kerja tak resmi yang dengan cepat dapat menduduki. Hingga pagi hari, pengurangan di bagian barat dirasakan dan serangan di depan oleh Van Swieten diulang kembali, yang setelah itu Jagaraga jatuh dan pasukan Bali melarikan diri.
Pada tanggal 8 Mei, Michiels bertolak ke Teluk Labuhan Amuk di Padang Cove, Karangasem, yang sebelumnya Toontje Poland sudah tiba. Pada tanggal 24 Mei, Michiels meneruskan perjalanan ke Kusamba dan menguasai kampung itu tanpa masalah. Di pagi berikutnya perjalanan itu berlanjut, namun di malam hari pasukan Bali melancarkan serangan atas kampung itu, dan dalam serbuan itu Michiels terluka parah di pahanya dan tewas saat itu juga setelah diamputasi. Di pagi berikutnya Van Swieten, yang sudah diangkat sebagai panglima, juga kembali ke Padang Cove; setelah perundingan di Kusamba gagal kembali (10 Juni) dan meminta penyerahan mereka. Pada tanggal 12 Juni persetujuan tercapai, di mana Jembrana dinyatakan sebagai bagian dari Hindia-Belanda dan Kerajaan Bangli digabungkan ke Buleleng. Penyelesaian itu diratifikasi oleh Jan Jacob Rochussen dan menjadi dasar bagi penguasaan Belanda atas Bali.

Description: Picture








Jan Jacob Rochussen




BAB III
PENUTUP

1.Kesimpulan



2.Saran












Komentar

Postingan Populer